Su 35 gantikan F5


Pemerintah terus berupaya memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Negosiasi Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan pemerintah Rusia soal pengadaan pesawat tempur Sukhoi-35 Super Flanker adalah salah satunya. Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyatakan pesawat tempur dengan sebutan SU-35 itu sudah pasti akan menjadi salah satu alutsista milik TNI AU.

Ryamizard mengungkapkan, tidak kurang dua tahun Kemenhan bernegosiasi dengan pemerintah Rusia demi mendatangkan SU-35. Tidak percuma, hasil negosiasi tersebut berbuah manis. Meski belum menandatangani kontrak jual beli, dia memastikan pengadaan SU-35 sudah pasti terjadi. “Kami kemarin delapan (unit SU-35). Saya usahakan sepuluh,” ungkap dia kemarin (12/6).

Tambahan dua unit SU-35 memang belum pasti. Namun, sangat mungkin sebab pengadaan SU-35 mengandalkan kerja sama government to government. Tanpa perantara alias langsung antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Rusia. “Kemudian ada 50 persen imbal dagang,” ucap Ryamizard. Imbal dagang itu bisa menjadi jalan untuk menambah dua unit SU-35 dalam kontrak jual beli.

Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu pun percaya diri, kerja sama government to government antara Indonesia dengan Rusia menghemat pengeluaran. Dengan begitu, pengadaan SU-35 juga tidak akan merugikan Negara. “Jadi, nggak ada korupsi lagi,” imbuhnya. Bahkan, kata dia, Sukhoi berniat membangun pabrik suku cadang di Tanah Air.

Dengan begitu, kebutuhan suku cadangan SU-35 tidak perlu diimpor dari Rusia. “Mahal itu (impor dari Rusia),” imbuhnya. Di samping menghemat biaya belanja suku cadang, kehadiran pabrik suku cadang Sukhoi juga menguntungkan lantaran pesawat tersebut turut digunakan oleh negara lain. “Jadi, nanti yang punya Sukhoi seperti Malaysia perbaikannya sama kami,” jelas dia.

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto berharap besar keterangan menhan soal pengadaan SU-35 mempercepat kedatangan pesawat tempur tersebut. “Moga-moga bisa segera terealisasi,” tuturnya. Namun demikian, TNI AU tetap berpatokan kepada kontrak jual beli. Sebab, itu yang memastikan kedatangan pesawat tandingan F-15 Eagle dan F-16 Fighting Falcon tersebut.
Senada, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya menjelaskan, instansinya menunggu kepastian kontrak jual beli. Namun demikian, matra angkatan udara memang membutuhkan pengganti F-5 Tiger milik Skadron Udara 14 Tempur yang bermarkas di Landasan Udara (Lanud) Iswahyudi. “Kebutuhan mendesak,” ungkap Jemi.

TNI AU bakal mengandalkan SU-35 untuk menggantikan F-5. “Nanti yang sudah diputuskan Kemenhan rencanannya untuk pengganti F-5,” ucap Jemi. Pesawat yang sudah dipensiunkan dari tugas oleh TNI AU itu tidak lagi digunakan. Dalam HUT ke-71 TNI AU dua bulan lalu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun mengungkapkan pengganti F-5 Tiger segera didatangkan.

Sementara itu, Pengamat Militer Khairul Fahmi menuturkan, Angkatan Udara Indonesia memang membutuhkan SU-35. Menurut dia, pesawat tempur generasi terbaru itu sangat memadai untuk diandalkan menjaga kedaulatan NKRI. “Setidaknya TNI AU akan jadi lebih berwibawa di mata negara tetangga,” terang pria yang juga direktur di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).
Namun demikian, dia meminta pemerintah hati-hati dengan kontrak jual beli yang akan mereka tanda tangani. Jangan sampai itu malah menjadi bumerang. “Kalau benar info untuk mendatangkan SU-35 harus barter dengan produk karet senilai US$600 juta, saya kira masih terlalu mahal,” jelasnya. Sebab, biaya perawatan pesawat keluaran Sukhoi tidak murah.

Soal rencana Sukhoi membangun pabrik suku cadangan di Indonesia, Khairul pesimistis. Menurut dia, kontrak jual beli delapan SU-35 tidak lantas mendorong Sukhoi mendirikan pabrik di dalam negeri. “Jangan berharap banyak,” imbuhnya. Karena itu, dia meminta pemerintah lebih hati-hati sehingga pengadaan SU-35 tidak berujung rugi.
Sumber

Comments