Bahwa dalam dekade belakangan ini di PT. Dirgantara Indonesia
(DI) telah terjadi proses “pembusukan” yang dilakukan secara sengaja, hal ini
jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia secara jelas, karena beberapa hal :
Teknologi kedirgantaraan jarang yang memahami secara lengkap, terutama kaitannya dalam proses produksi pesawat terbang.
Dilakukannya pembohongan kepada publik oleh pihak PT DI sendiri, dengan memanfaatkan ke-awaman masyarakat Indonesia (pada umumnya) terhadap teknologi kedirgantaraan.
Teknologi kedirgantaraan jarang yang memahami secara lengkap, terutama kaitannya dalam proses produksi pesawat terbang.
Dilakukannya pembohongan kepada publik oleh pihak PT DI sendiri, dengan memanfaatkan ke-awaman masyarakat Indonesia (pada umumnya) terhadap teknologi kedirgantaraan.
Lemahnya rasa Nasionalisme dan rendahnya upaya untuk mengangkat
produk Bangsa sendiri, pada management PT DI.
Kasus C-295.
Kebohongan
Publik dalam pembelian C295 dari Airbus Military (dahulu Casa Sepanyol). Salah
satu hal menonjol yang membuktikan pernyataan tersebut diatas adalah kasus
pengadaan pesawat terbang C-295. Direktur PT DI secara aktif membantu Airbus
Military/EADS dalam penjualan 9 unit pesawat terbang C-295 (C-295 seluruhnya
merupakan hasil desain dan hasil produksi dari Airbus Military) kepada
Kementerian Pertahanan RI dengan harga yang sangat mahal untuk harga pesawat
terbang di kelasnya, yaitu sekitar US $ 31 juta/unit. Di lain sisi PT. DI sama
sekali tidak mendapatkan nilai tambah, baik dari aspek keuangan maupun
pengembangan teknologi termasuk pemberdayaan karyawan PT DI, karena 9 unit
pesawat terbang C-295 tersebut keseluruhannya di desain, diproduksi dan secara
langsung di datangkan dari Airbus Military Spanyol. Sebagai kelanjutannya telah
terjadi kebohongan publik kepada masyarakat Indonesia, yaitu disebar informasi
bahwa PT DI dapat “hidup” kembali karena mendapatkan pekerjaan yaitu ikut
memproduksi C 295, dan untuk lebih meyakinkan masyarakat Indonesia registrasi
C-295 dirubah menjadi CN-295. Perlu diketahui bahwa C-295 adalah “saingan”
CN-235 yang diproduksi PT DI, bahwa performance C 295 lebih tinggi dibanding CN
235 hal tersebut tidak menjadi masalah, karena PT DI memiliki kemampuan untuk
meningkatkan performance CN235 sehingga setara dengan C295, dan yang paling
penting harga akan menjadi jauh lebih murah.
Direksi PT DI
bukannya memasarkan CN 235 (produksi PT DI) namun malahan memasarkan C295 dan
kemudian ternyata “tertipu”, hal ini merugikan perusahaan sebesar Rp 7 Milyar.
Direksi PTDI, ditahun 2013 dan 2014 telah terlibat dalam mempromosikan dan
memasarkan produk C 295 buatan EADS (ex CASA Spanyol) ke Negara-negar ASEAN.
Kegiatan “marketing “ tersebut menggunakan dana perusahaan yang berasal dari
PMN tahun 2012 lebih kurang Rp. 7 Milyar. Ternyata pihak pembeli melakukan
transaksi langsung ke Airbus Military dan dilain pihak antara PTDI dengan EADS
tidak ada perjanjian kerjasama dalam memasarkan C295 sebagai akibatnya PTDI
dirugikan minimal sebesar Rp. 7 milyar, dan yang paling “menyakitkan” adalah
mematikan produksi PT DI sendiri, yaitu CN235.
Direksi PTDI
yang saat ini menjabat, telah menggunakan dana investasi berasal dari dan PMN
tahun 2012 untuk pengadaan system SAP dan memperbaiki fasilitas/hangar untuk
delivery produk C 295 produksi EADS (ex CASA Spanyol). Perlu dipahami bahwa
biaya investasi yang telah dikeluarkan, tidak ada nilai tambah ekonomis maupun
teknologi bagi PTDI. Pekerjaan yang diberikan kepada PTDI sangat minim yaitu
hanya “mempersiapkan” seluruh pesawat C295 yang tiba secara utuh dari Spanyol
untuk di-delivery ke KEMENHAN, hal ini menyebabkan Potensi Kerugian sebesar
Rp.100 miliar.
Catatan : Saat
ini seluruh aktivitas perusahaan yang terkait dengan produksi, assembly,
pengadaan komponen dan manajemen produksi ”TELAH DIKUASAI “oleh Pihak EADS/CASA
dimana dengan SAP tersebut maka pihak EADS mengendalikan seluruh aktivitas
produksi, Engineering dan Program PTDI.
Kasus kesalahan yg disengaja dalam memproduksi senjata bagi TNI
(Rocket FFAR MK4)
Telah terjadi
kejahatan corporate terhadap institusi Negara (TNI) yaitu tindakan memanipulasi
system dan specifikasi System Motor Rocket FFAR MK4, oleh manajemen PT DI. Hal
tersebut dilakukan dengan sengaja dan apabila dikaitkan dengan pemahaman
tentang tehnologi peroketan, management PT DI seharusnya menyadari sepenuhnya
bahwa dampak yang terjadi dengan memanipulasi system dan spesifikasi rocket
akan sangat membahayakan TNI (sebagai pengguna) dan masyarakat pada umumnya.
Delevery Rocket yang salah spesifikasi tersebut telah dilakukan sebanyak 2
(dua) kali dengan jumlah 2.058 unit ke Depo 60 Lanud IWY Madiun pada tanggal 9
dan 16 Desember 2013.
Sebelum roket
tersebut digunakan, upaya manipulasi tersebut ternyata terbongkar dan untuk itu
dilakukan upaya pencegahan dengan menyampaikan peringatan ke TNI AU. Laporan
tersebut mendapatkan tanggapan yang positif dari KASAU. Untuk mendapatkan fakta
yang lebih jelas, dilakukan pembongkaran rocket (yg diterima pada tgl 9 dan 16
Desember 2013) secara random sebanyak 6 (enam) buah di Arsenal Depo 60 Madiun.
Dari hasil pembongkaran diketemukan bahwa seluruh rocket FFAR MK4 yang
dibongkar (sebanyak 6 buah) seluruhnya terbukti telah diproduksi tidak sesuai
dengan technical specification sebagaimana yang tercantum dalam kontrak, yaitu
rocket diproduksi dengan Stabilizing Rod (bekas) yang sudah tidak memiliki
Coating.
Mengingat
rocket yang diproduksi oleh PT DI secara tidak benar tersebut sangat
membahayakan, karena apabila rocket yang “salah produksi” tersebut terlanjur
digunakan, akan mengakibatkan terjadinya kerusakan/kehancuran ALUTSISTA dan
timbulnya korban personel baik TNI maupun masyarakat umum, dan kegagalan
operasi militer. Maka berdasarkan hasil pembongkaran rocket tersebut, KASAU
telah memerintahkan agar seluruh rocket FFAR (reff. Kontrak Jual Beli Nomor :
TRAK 271/RM/IV/2013/AU dan Nomor Kontrak KJB/235/1006/DA/RP/2013/AU)
dikeluarkan dari asrenal TNI AU untuk dikembalikan ke PT DI. Pelaksanaan
pengembalian telah dilakukan dan seluruh rocket telah diterima oleh PT DI pada
tanggal 10 Juli 2014.
Kerugian Perusahaan karena Ulah Direksi
Direksi PTDI
tidak mampu mengendalikan Manajemen perusahaan sehingga mengakibatkan terjadi
kerugian-kerugian yang berturut-turut bagi perusahaan, sebagai akibat
penyelesaian kontrak yang terlambat. Kontrak-kontrak tersebut adalah:
Terlambatnya
tahapan pengerjaan dan penyerahan pesawat maupun dukungan dokumen C212 pesanan
Thailand, sehingga berdampak kepada penalty sebesar kurang lebih 70% dari nilai
kontrak pesawat.
Kontrak C212 pesanan Philipines dimana pada saat penandatanganan kontrak Direksi telah mengetahui aka nada keterlambatan pengadaaan yang akan mengakibatkan kerugian sebesar 50% dari nilai kontrak.
Kontrak C212 pesanan Philipines dimana pada saat penandatanganan kontrak Direksi telah mengetahui aka nada keterlambatan pengadaaan yang akan mengakibatkan kerugian sebesar 50% dari nilai kontrak.
Direksi PTDI
tidak mempunyai program yang jelas. Direksi telah terlibat dalam pembelian
pesawat penumpang CODIAC buatan Amerika yang pembayarannya dilakukan secara
CASH (sekaligus), di lain pihak peruntukkan penggunaan pesawat tersebut tidak
jelas. Saat ini pesawat tersebut HANYA tersimpan di hangar PTDI. Dapat
disimpulkan bahwa tindakan tersebut hanya mengakibatkan kerugian bagi PTDI.
Sesuai hasil
pemeriksaan BPK RI nomor: 39/S/Tim-BPK/GA-DI/04/2010 tertanggal 9 Februari
2010, TERBUKTI telah melakukan:
Direksi PTDI
TERBUKTI telah melakukan tindakan Perjanjian Jual Beli/Pengadaan Barang Fiktif
dengan Falcon Trade Corporation (FTC), dimana kenyataannya Transaksi tersebut
adalah merupakan tindakan Transaksi Peminjaman uang tunai terselubung sebesar
Rp.67.848.693.624,00 dengan bunga 4.5% untuk jangka waktu 6 bulan.
Bahwa tindakan Direksi PTDI tersebut merupakan tindakan manipulasi dokumen dan keterangan palsu dan merupakan tindakan yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan hal tersebut dapat diduga merupakan tindakan pidana.
Direksi PTDI TERBUKTI telah melakukan kesepakatan dengan Serikat Pekerja mantan Karyawan/SP-FKK dengan memberikan Dana pemberdayaan sebesar Rp. 200 milyar diman dan sebesar Rp. 30 milyar telah ditransfer. Bahwa sesuai undang–undang yang berlaku Direksi telah melakukan pelanggaran dengan melakukan kesepakatan diluar undang-undang.
Direksi PTDI TERBUKTImelakukan tindakan Merubah Ketentuan dalam Kerja Sama dengan PT. Bumiloka Tegar Perkasa (BTP) dan Direksi PTDI menyetujui untuk menanggung kerugian sebesar Rp. 1.640.124.703,52 dan juga merubah serta menambah persentase besaran hak PT.BTP.
Direksi dalam hal ini telah melanggar Kaidah kelaziman berbisnis /berusaha dan Melanggar Anggaran Dasar PTDI serta Undang-undang BUMN no 19 tahun 2003 pasal 5 ayat 3.
Bahwa tindakan Direksi PTDI tersebut merupakan tindakan manipulasi dokumen dan keterangan palsu dan merupakan tindakan yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan hal tersebut dapat diduga merupakan tindakan pidana.
Direksi PTDI TERBUKTI telah melakukan kesepakatan dengan Serikat Pekerja mantan Karyawan/SP-FKK dengan memberikan Dana pemberdayaan sebesar Rp. 200 milyar diman dan sebesar Rp. 30 milyar telah ditransfer. Bahwa sesuai undang–undang yang berlaku Direksi telah melakukan pelanggaran dengan melakukan kesepakatan diluar undang-undang.
Direksi PTDI TERBUKTImelakukan tindakan Merubah Ketentuan dalam Kerja Sama dengan PT. Bumiloka Tegar Perkasa (BTP) dan Direksi PTDI menyetujui untuk menanggung kerugian sebesar Rp. 1.640.124.703,52 dan juga merubah serta menambah persentase besaran hak PT.BTP.
Direksi dalam hal ini telah melanggar Kaidah kelaziman berbisnis /berusaha dan Melanggar Anggaran Dasar PTDI serta Undang-undang BUMN no 19 tahun 2003 pasal 5 ayat 3.
Direksi PTDI
saat ini juga tidak dapat menjalankan Tugas dan tanggung jawabnya dengan baik
dalam menjalankan perusahaan. Hal ini terbukti dengan :
Terlambatnya penyerahan order keseluruhan
pesawat pesanan KEMENHAN baik C295 maupun Bell 412.
Masih terlambatnya pengerjaan order pesawat CN235 TNI-AU
Lalai dalam memperpanjang Dokumen Perijinan Kawasan Berikat sehingga dana jaminan sebesar Rp. 6 milyar hilang. Lalai dalam memperbaharui sertifikat lahan bangunan perusahaan yang habis masa berlakunya. Lalai dalam meneyelesaikan asset lahan bermasalah dengan pihak ketiga yaitu:
Asset perumahan Paledang Flat Sukajadi Aset yang dikuasai oleh King Hoe
Masih terlambatnya pengerjaan order pesawat CN235 TNI-AU
Lalai dalam memperpanjang Dokumen Perijinan Kawasan Berikat sehingga dana jaminan sebesar Rp. 6 milyar hilang. Lalai dalam memperbaharui sertifikat lahan bangunan perusahaan yang habis masa berlakunya. Lalai dalam meneyelesaikan asset lahan bermasalah dengan pihak ketiga yaitu:
Asset perumahan Paledang Flat Sukajadi Aset yang dikuasai oleh King Hoe
Lalai dalam
memperbaiki Organisasi Perusahaan, dimana bentuk dan jumlah Struktural
organisasi PTDI dengan 4000 orang karyawan ternyata jauh lebih besar,
dibandingkan dengan organisasi PTDI sebelumnya yang pada waktu itu memiliki
karyawan sebanyak 14.000 orang.
Comments
Post a Comment